Senin, 11 April 2011


BAHAYA KEAMANAN SWASTA DI INDONESIA:
PENGAWAL DAN MILISI DI BALI DAN LOMBOK

Oleh: Restu Rahmawati

Berbicara perihal penjaga keamanan di Indonesia, maka bayangan kita akan tertuju pada polisi dan militer. Polisi (aparat justisia) berfungsi menjaga keamanan dalam negeri yang mencakup fungsi perlindungan, penegakan hukum dan kamtibnas. Sedangkan untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman yang datang dari luar, yang umumnya berupa ancaman militer, maka negara menciptakan alat pertahanan sendiri yang dalam konteks modern disebut sebagai tentara.
Keamanan, pada dasarnya merupakan fungsi negara yang pokok. Ia menjadi (a) alasan mengapa negara ada, (b) dasar bagi diterimanya adagium bahwa negara adalah pemegang wewenang penggunaan kekerasan secara sah dan sebaliknya (c) pelarangan pengalihan atau penggunaan wewenang ini oleh aktor di luar negara, (d) alasan bagi dibentuknya kepolisian (dan institusi justisia lainnya), tentara dan intelijen. Akan tetapi setelah munculnya reformasi kepolisian, telah memicu terjadinya pengalihan kewenangan fungsi polisi oleh organisasi keamanan swasta yang berasal dari kalangan sipil. Hal tersebut bukan suatu kemajuan, namun mengimplikasikan bahwa telah terjadi penurunan kepercayaan masyarakat terhadap polisi bahkan mengindikasikan terjadinya devolusi terhadap kewenangan polisi. Padahal, seharusnya masalah keamanan wajib disiapkan oleh negara secara impersonal dan tidak dapat diprivatkan atau dibiarkan dikelola sendiri oleh masyarakat. Namun, pada konteksnya saat ini banyak bermunculan organisasi yang berperan menjaga keamanan sebagai pengganti tugas polisi dan militer seperti yang terjadi di Bali dan Lombok.
Adanya keinginan setiap individu atau kolektivitas untuk membebaskan diri dari ancaman, maka telah mendorong masyarakat Bali dan Lombok untuk mendirikan organisasi keamanan swasta seperti pecalang dan pam swakarsa. Hal ini mungkin saja wajar, karena banyak pendatang baik imigran maupun pendatang non-lokal yang berkunjung ke Bali dan Lombok. Baik itu untuk tujuan wisata maupun untuk bekerja disana. Atas dasar itulah, keberadaan pecalang dan pam swakarsa terbentuk dan seolah-olah mendapatkan legitimasi di dalam masyarakat dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan lokal.
Munculnya pecalang di Bali dan Pam swakarsa di Lombok, awalnya merupakan perkembangan dalam hal tren keamanan pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto tahun 1998. Berakhirnya pemerintahan Soeharto, maka berakhir pula sistem sentralisasi yang dijalankannya. Hal tersebut membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia khususnya Bali dan Lombok, karena daerah-daerah tersebut bisa melakukan desentralisasi keamanan. Laporan ICG juga menjelaskan bahwa munculnya pecalang dan pam swakarsa disebabkan juga oleh gangguan yang dirasakan oleh masyarakat Bali dan Lombok, ketidakpercayaan terhadap polisi, kekurangan personil polisi, dan sebagai perwujudan dari berjalannya azas desentralisasi ditingkat propinsi.
Guna memahami seluk beluk lahirnya pecalang dan pam swakarsa tersebut, penulis akan menguraikannya satu persatu. Pecalang, lahir sejak berakhirnya masa pemerintahan Soeharto. Pada awalnya pecalang hanya bertanggung jawab sebagai penjaga upacara ritual tertentu. Akan tetapi, seiring dengan kompleknya masalah ketegangan etnis di Bali dan sentimen anti imigran, maka pecalang mengalami metamorfosis/ perubahan. Perlu diketahui bahwa basis utama kerangka kerja mereka yakni memantau pendatang/ imigran yang datang ke Bali dan menetap di lingkungan masyarakat Bali. Bahkan  tahun 2001, pemerintah propinsi Bali memberdayakan pecalang terlatih untuk menegakkan administrasi lokal. Selain itu, menjelang pemilu 1999, pecalang dimanfaatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk menjaga keamanan Megawati Soekarno Putri. Berdasarkan penjelasan diatas, intinya, kehidupan Bali yang unik, kaya akan budaya dan indahnya panorama alam disana telah menarik sejumlah besar wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Dengan banyaknya wisatawan yang datang, maka akan berkorelasi dengan banyak beredarnya mata uang asing, dan pembangunan perumahan serta hotel-hotel berbintang. Satu sisi, hal tersebut memang menguntungkan pemerintah Propinsi Bali, namun disisi lain dapat meningkatkan tingkat kejahatan.
Contoh konkret tugas pecalang dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga keamanan di Bali diantaranya adalah bertanggung jawab sebagai penarik pajak dan perlindungan.  Pada tahun 2000, kekhawatiran terhadap masuknya migran, telah memicu pemerintah provinsi untuk mempekerjakan Pecalang guna menjalankan cek kartu identitas di daerah warga non-Bali tinggal. Bahkan pecalang biasanya sering mengancam para pekerja non-Bali, dengan ancaman dikeluarkan dari tempat tinggalnya di Bali apabila tidak membayar uang keamanan dan tidak membayar pajak ijin tinggal sementara (KIPEM). Oleh karena itu, penulis melihat bahwa pecalang sebagai bentuk tata cara keamanan tradisional di Bali, pada kenyataannya sering melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap warga non-Bali. Bahkan penulis melihat ini merupakan bentuk premanisme kekuatan tradisional. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pecalang Bali merupakan contoh diantara sekian banyak penjaga keamanan sipil di Indonesia yang berbasis etnis, dan diberi legitimasi melalui perannya yang resmi diakui sebagai pembantu polisi. Atas dasar pengakuan itulah, polisi berpendapat bahwa pecalang adalah penjaga keamanan masyarakat Bali, khususnya selama kapasitas polisi rendah. 
Terkait dengan dunia politik, aturan yang diterapkan kepada pecalang sama halnya dengan aturan yang diterapkan terhadap polisi dan militer yakni tidak boleh berafiliasi terhadap salah satu partai politik. Mereka dituntut netral supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Namun sekitar tahun 2004, pecalang justru berafiliasi kepada partai PDI-P yang mengakibatkan mereka sering melakukan kampanye-kampanye terselubung. Berdasarkan hal tersebut, sangat ironis apabila kita melihat pecalang dalam konteks saat ini. Karena pecalang tidak lagi memberikan rasa aman terhadap masyarakat Bali. Namun telah berubah menjadi organisasi yang melegalkan kekerasan dan main hakim sendiri. Sementara polisi dan militer, hanya dikerahkan pada saat ketegangan di Bali berubah menjadi kekerasan. Menyaksikan fenomena tersebut, penulis merasa prihatin karena hal ini dapat menunjukkan bahwa negara tidak mampu menyediakan keamanan bagi warga negaranya.

Bahasan berikutnya yakni tentang penjaga keamanan di Lombok yang disebut pam swakarsa. Ada persamaan dan perbedaan antara pam swakarsa dan pecalang. Dilihat dari segi persamaannya, pam swakarsa dan pecalang ternyata sama-sama muncul karena adanya permintaan untuk perlindungan dan keamanan pribadi, yang merupakan respon dari meningkatnya kejahatan dan kekerasan di masyarakat Lombok dan Bali. Dilihat dari segi perbedaannya yakni bahwa pam swakarsa muncul sebagai milisi swasta untuk memerangi pasukan kejahatan, yang kemudian berevolusi menjadi milisi pribadi bagi para pemimpin agama yang berafiliasi politik, sedangkan pecalang muncul sebagai penjaga candi dan upacara ritual, lalu bermetamorfosa menjadi bagian integral dari struktur keamanan.
Di Lombok, pam swakarsa terdiri dari beberapa golongan yakni ada yang disebut dengan Bujak, dan ada juga yang menamakan dirinya kelompok amphibi. Secara keanggotaan, ada perbedaan diantara keduanya, meskipun sama-sama mengatasnamakan penjaga keamanan. Bujak, anggotanya bukan berasal dari orang-orang Islam yang taat, namun kebanyakan pemuda-pemuda preman. Sedangkan amphibi, memiliki anggota milisi yang taat terhadap ajaran Islam, sehingga mereka lebih kuat dan disiplin.
Pam swakarsa pertama yang muncul disebut Bujak (Pemburu Jejak). Tugas bujak ini adalah memburu para pencuri yang melarikan diri, dengan dipersenjatai senjata kuno Lombok. Akan tetapi, menurut keterangan masyarakat Lombok, ketika Bujak sepi dari bisnis keamanannya, mereka terkadang melakukan pengaturan terhadap keadaan. Mereka menciptakan keadaan Lombok seolah-seolah banyak pencuri yang masuk, supaya mereka dipekerjakan lagi. Padahal, itu hanya sebuah rekayasa saja untuk mengecoh masyarakat Lombok. Oleh karena itu, bujak akan berbisnis keamanan ketika tingkat pencurian meningkat.
Pam swakarsa kedua, disebut amphibi yakni akronim untuk Amankan Hukum Pemerintah Indonesia Berdasarkan Iman (Melindungi Hukum di Indonesia Berdasarkan Iman). Amphibi, berbasis di Jeroaru, Lombok timur, dengan jumlah anggota aktif sampai tahun 1999 sebanyak 220.000 anggota. Selain itu, tidak adanya kepolisian yang efektif di Lombok timur pada saat itu, telah menyebabkan dibentuknya amphibi. Amphibi, pada awalnya merupakan komunitas patroli keamanan yang bersifat longgar, namun dalam perjalanannya amphibi berubah menjadi jaringan kekuatan keamanan yang terorganisir. Dengan adanya perubahan itulah, maka timbul ide-ide kreatif dari anggota amphibi mengenai penentuan konsep keamanan dan seragam yang akan mereka pergunakan. Adapun konsep keamanan yang mereka terapkan yakni mengacu pada tiga strike aturan bagi para penjahat. Pertama, jika mereka mengaku mencuri, maka hukumannya hanya berupa peringatan saja; Kedua, apabila kegiatan mencuri dilakukan untuk kali keduanya, maka pelanggar akan ditahan di penjara Jeroaru; dan Ketiga, apabila ketahuan mencuri untuk kali ketiganya, maka akan diburu dan dieksekusi. Bahkan lebih sadis lagi, apabila pencuri melarikan diri akan dibunuh oleh kelompok amphibi di depan publik.
Ada beberapa hal yang penulis kritisi dari munculnya amphibi, terutama dalam hal pelaksanaan fungsinya dan pengorganisasiannya. Penulis melihat bahwa amphibi pada konteksnya dijadikan alat politik oleh para pemimpinnya untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga kontestasi kepentingan di dalam tubuh amphibi, berimplikasi pada terbaginya amphibi menjadi dua yakni amphibi brigade yang memihak kepada Haji Mahdi, dan amphibi sejati yang berpihak kepada Sibaway dan guru Ukit. Besarnya kepentingan di dalam tubuh amphibi, bisa menyebabkan amphibi berubah haluan dalam pelaksanaan fungsinya. Mereka tidak lagi bekerja untuk memberikan keamanan dan perlindungan terhadap masyarakat, namun bisa jadi mereka menjadi kelompok yang bergaris keras, ekspansionis bahkan korup. Hal tersebut terbukti dengan operasi-operasi kerja amphibi yang banyak merugikan masyarakat Lombok. 
Berdasarkan penjelasan di atas, terkait bahaya privatisasi sektor keamanan di Bali dan Lombok maka penulis melihat kajian ini secara teoritis sangat bagus untuk dibaca dan dipelajari. Banyak pengetahuan yang kita dapatkan dari kajian tersebut, apalagi jika dihubungkan dengan politik keamanan dan pembangunan. Namun, apabila kajian privatisasi sektor keamanan di Bali dan Lombok dkontekskan dengan tatanan praktisnya, penulis bersumsi bahwa perlu adanya pengkajian ulang mengenai tugas dan fungsi penjaga keamanan swasta seperti pecalang dan pam swakarsa (Bujak & amphibi). Hal ini dikarenakan, kehadiran mereka sebagai penjaga keamanan pengganti polisi, seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menggunakan kekerasan tehadap masyarakat minoritas, bahkan kelompok milisi tersebut bisa berubah menjadi kelompok penyerang dan pembunuh seperti  kasus di Lombok pada bulan Mei 2002.
Meskipun kelompok milisi di Bali dan Lombok memerlukan pengkajian ulang dalam hal tugas dan fungsinya, namun apabila dilihat dari sisi positifnya kehadiran mereka sangat membantu keamanan masyarakat lokal yang jarang tersentuh ranah kepolisian. Selain itu, respon pemerintah propinsi pun sangat baik dengan kehadiran penjaga keamanan lokal tersebut. Di Lombok misalnya, pam swakarsa sudah resmi dikategorikan sebagai Linmas (perlindungan masyarakat) dibawah UU Keamanan Nasional tahun 1982. Penulis optimis, apabila tugas dan fungsi milisi dijalankan dengan baik dan benar-benar berkomitmen untuk menjaga dan melindungi keamanan masyarakat lokal, tanpa diikuti oleh perilaku premanisme dan anarkisme, maka masyarakat akan merasa terlindungi. Namun, apabila para milisi tersebut tetap berperilaku premanisme dan anarkisme bahkan sampai memicu ketegangan antar daerah, maka lebih baik mereka dibubarkan.
Rekomendasi untuk pemerintah Indonesia, terkait privatisasi sektor keamanan di Indonesia yakni meningkatkan rekrutmen dan pelatihan polisi berbasis masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada kelompok sipil, dan bekerja sama dengan polisi untuk mempelajari masalah tumpang tindih yurisdiksi desa, kabupaten, dan kota mengenai organisasi keamanan dan mengembangkan lebih jelas jalur kewenangannya.

Referensi:
ICG Asia Report.  The Perils Of Private Security In Indonesia: Guards And Militias
On Bali And Lombok; Jakarta/Brussels, 7 November 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar