Senin, 11 April 2011


BAHAYA KEAMANAN SWASTA DI INDONESIA:
PENGAWAL DAN MILISI DI BALI DAN LOMBOK

Oleh: Restu Rahmawati

Berbicara perihal penjaga keamanan di Indonesia, maka bayangan kita akan tertuju pada polisi dan militer. Polisi (aparat justisia) berfungsi menjaga keamanan dalam negeri yang mencakup fungsi perlindungan, penegakan hukum dan kamtibnas. Sedangkan untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman yang datang dari luar, yang umumnya berupa ancaman militer, maka negara menciptakan alat pertahanan sendiri yang dalam konteks modern disebut sebagai tentara.
Keamanan, pada dasarnya merupakan fungsi negara yang pokok. Ia menjadi (a) alasan mengapa negara ada, (b) dasar bagi diterimanya adagium bahwa negara adalah pemegang wewenang penggunaan kekerasan secara sah dan sebaliknya (c) pelarangan pengalihan atau penggunaan wewenang ini oleh aktor di luar negara, (d) alasan bagi dibentuknya kepolisian (dan institusi justisia lainnya), tentara dan intelijen. Akan tetapi setelah munculnya reformasi kepolisian, telah memicu terjadinya pengalihan kewenangan fungsi polisi oleh organisasi keamanan swasta yang berasal dari kalangan sipil. Hal tersebut bukan suatu kemajuan, namun mengimplikasikan bahwa telah terjadi penurunan kepercayaan masyarakat terhadap polisi bahkan mengindikasikan terjadinya devolusi terhadap kewenangan polisi. Padahal, seharusnya masalah keamanan wajib disiapkan oleh negara secara impersonal dan tidak dapat diprivatkan atau dibiarkan dikelola sendiri oleh masyarakat. Namun, pada konteksnya saat ini banyak bermunculan organisasi yang berperan menjaga keamanan sebagai pengganti tugas polisi dan militer seperti yang terjadi di Bali dan Lombok.
Adanya keinginan setiap individu atau kolektivitas untuk membebaskan diri dari ancaman, maka telah mendorong masyarakat Bali dan Lombok untuk mendirikan organisasi keamanan swasta seperti pecalang dan pam swakarsa. Hal ini mungkin saja wajar, karena banyak pendatang baik imigran maupun pendatang non-lokal yang berkunjung ke Bali dan Lombok. Baik itu untuk tujuan wisata maupun untuk bekerja disana. Atas dasar itulah, keberadaan pecalang dan pam swakarsa terbentuk dan seolah-olah mendapatkan legitimasi di dalam masyarakat dalam menjalankan fungsinya menjaga keamanan lokal.
Munculnya pecalang di Bali dan Pam swakarsa di Lombok, awalnya merupakan perkembangan dalam hal tren keamanan pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto tahun 1998. Berakhirnya pemerintahan Soeharto, maka berakhir pula sistem sentralisasi yang dijalankannya. Hal tersebut membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia khususnya Bali dan Lombok, karena daerah-daerah tersebut bisa melakukan desentralisasi keamanan. Laporan ICG juga menjelaskan bahwa munculnya pecalang dan pam swakarsa disebabkan juga oleh gangguan yang dirasakan oleh masyarakat Bali dan Lombok, ketidakpercayaan terhadap polisi, kekurangan personil polisi, dan sebagai perwujudan dari berjalannya azas desentralisasi ditingkat propinsi.
Guna memahami seluk beluk lahirnya pecalang dan pam swakarsa tersebut, penulis akan menguraikannya satu persatu. Pecalang, lahir sejak berakhirnya masa pemerintahan Soeharto. Pada awalnya pecalang hanya bertanggung jawab sebagai penjaga upacara ritual tertentu. Akan tetapi, seiring dengan kompleknya masalah ketegangan etnis di Bali dan sentimen anti imigran, maka pecalang mengalami metamorfosis/ perubahan. Perlu diketahui bahwa basis utama kerangka kerja mereka yakni memantau pendatang/ imigran yang datang ke Bali dan menetap di lingkungan masyarakat Bali. Bahkan  tahun 2001, pemerintah propinsi Bali memberdayakan pecalang terlatih untuk menegakkan administrasi lokal. Selain itu, menjelang pemilu 1999, pecalang dimanfaatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk menjaga keamanan Megawati Soekarno Putri. Berdasarkan penjelasan diatas, intinya, kehidupan Bali yang unik, kaya akan budaya dan indahnya panorama alam disana telah menarik sejumlah besar wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Dengan banyaknya wisatawan yang datang, maka akan berkorelasi dengan banyak beredarnya mata uang asing, dan pembangunan perumahan serta hotel-hotel berbintang. Satu sisi, hal tersebut memang menguntungkan pemerintah Propinsi Bali, namun disisi lain dapat meningkatkan tingkat kejahatan.
Contoh konkret tugas pecalang dalam menjalankan tugasnya sebagai penjaga keamanan di Bali diantaranya adalah bertanggung jawab sebagai penarik pajak dan perlindungan.  Pada tahun 2000, kekhawatiran terhadap masuknya migran, telah memicu pemerintah provinsi untuk mempekerjakan Pecalang guna menjalankan cek kartu identitas di daerah warga non-Bali tinggal. Bahkan pecalang biasanya sering mengancam para pekerja non-Bali, dengan ancaman dikeluarkan dari tempat tinggalnya di Bali apabila tidak membayar uang keamanan dan tidak membayar pajak ijin tinggal sementara (KIPEM). Oleh karena itu, penulis melihat bahwa pecalang sebagai bentuk tata cara keamanan tradisional di Bali, pada kenyataannya sering melakukan praktek-praktek diskriminasi terhadap warga non-Bali. Bahkan penulis melihat ini merupakan bentuk premanisme kekuatan tradisional. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa pecalang Bali merupakan contoh diantara sekian banyak penjaga keamanan sipil di Indonesia yang berbasis etnis, dan diberi legitimasi melalui perannya yang resmi diakui sebagai pembantu polisi. Atas dasar pengakuan itulah, polisi berpendapat bahwa pecalang adalah penjaga keamanan masyarakat Bali, khususnya selama kapasitas polisi rendah. 
Terkait dengan dunia politik, aturan yang diterapkan kepada pecalang sama halnya dengan aturan yang diterapkan terhadap polisi dan militer yakni tidak boleh berafiliasi terhadap salah satu partai politik. Mereka dituntut netral supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Namun sekitar tahun 2004, pecalang justru berafiliasi kepada partai PDI-P yang mengakibatkan mereka sering melakukan kampanye-kampanye terselubung. Berdasarkan hal tersebut, sangat ironis apabila kita melihat pecalang dalam konteks saat ini. Karena pecalang tidak lagi memberikan rasa aman terhadap masyarakat Bali. Namun telah berubah menjadi organisasi yang melegalkan kekerasan dan main hakim sendiri. Sementara polisi dan militer, hanya dikerahkan pada saat ketegangan di Bali berubah menjadi kekerasan. Menyaksikan fenomena tersebut, penulis merasa prihatin karena hal ini dapat menunjukkan bahwa negara tidak mampu menyediakan keamanan bagi warga negaranya.

Bahasan berikutnya yakni tentang penjaga keamanan di Lombok yang disebut pam swakarsa. Ada persamaan dan perbedaan antara pam swakarsa dan pecalang. Dilihat dari segi persamaannya, pam swakarsa dan pecalang ternyata sama-sama muncul karena adanya permintaan untuk perlindungan dan keamanan pribadi, yang merupakan respon dari meningkatnya kejahatan dan kekerasan di masyarakat Lombok dan Bali. Dilihat dari segi perbedaannya yakni bahwa pam swakarsa muncul sebagai milisi swasta untuk memerangi pasukan kejahatan, yang kemudian berevolusi menjadi milisi pribadi bagi para pemimpin agama yang berafiliasi politik, sedangkan pecalang muncul sebagai penjaga candi dan upacara ritual, lalu bermetamorfosa menjadi bagian integral dari struktur keamanan.
Di Lombok, pam swakarsa terdiri dari beberapa golongan yakni ada yang disebut dengan Bujak, dan ada juga yang menamakan dirinya kelompok amphibi. Secara keanggotaan, ada perbedaan diantara keduanya, meskipun sama-sama mengatasnamakan penjaga keamanan. Bujak, anggotanya bukan berasal dari orang-orang Islam yang taat, namun kebanyakan pemuda-pemuda preman. Sedangkan amphibi, memiliki anggota milisi yang taat terhadap ajaran Islam, sehingga mereka lebih kuat dan disiplin.
Pam swakarsa pertama yang muncul disebut Bujak (Pemburu Jejak). Tugas bujak ini adalah memburu para pencuri yang melarikan diri, dengan dipersenjatai senjata kuno Lombok. Akan tetapi, menurut keterangan masyarakat Lombok, ketika Bujak sepi dari bisnis keamanannya, mereka terkadang melakukan pengaturan terhadap keadaan. Mereka menciptakan keadaan Lombok seolah-seolah banyak pencuri yang masuk, supaya mereka dipekerjakan lagi. Padahal, itu hanya sebuah rekayasa saja untuk mengecoh masyarakat Lombok. Oleh karena itu, bujak akan berbisnis keamanan ketika tingkat pencurian meningkat.
Pam swakarsa kedua, disebut amphibi yakni akronim untuk Amankan Hukum Pemerintah Indonesia Berdasarkan Iman (Melindungi Hukum di Indonesia Berdasarkan Iman). Amphibi, berbasis di Jeroaru, Lombok timur, dengan jumlah anggota aktif sampai tahun 1999 sebanyak 220.000 anggota. Selain itu, tidak adanya kepolisian yang efektif di Lombok timur pada saat itu, telah menyebabkan dibentuknya amphibi. Amphibi, pada awalnya merupakan komunitas patroli keamanan yang bersifat longgar, namun dalam perjalanannya amphibi berubah menjadi jaringan kekuatan keamanan yang terorganisir. Dengan adanya perubahan itulah, maka timbul ide-ide kreatif dari anggota amphibi mengenai penentuan konsep keamanan dan seragam yang akan mereka pergunakan. Adapun konsep keamanan yang mereka terapkan yakni mengacu pada tiga strike aturan bagi para penjahat. Pertama, jika mereka mengaku mencuri, maka hukumannya hanya berupa peringatan saja; Kedua, apabila kegiatan mencuri dilakukan untuk kali keduanya, maka pelanggar akan ditahan di penjara Jeroaru; dan Ketiga, apabila ketahuan mencuri untuk kali ketiganya, maka akan diburu dan dieksekusi. Bahkan lebih sadis lagi, apabila pencuri melarikan diri akan dibunuh oleh kelompok amphibi di depan publik.
Ada beberapa hal yang penulis kritisi dari munculnya amphibi, terutama dalam hal pelaksanaan fungsinya dan pengorganisasiannya. Penulis melihat bahwa amphibi pada konteksnya dijadikan alat politik oleh para pemimpinnya untuk memperoleh kekuasaan. Sehingga kontestasi kepentingan di dalam tubuh amphibi, berimplikasi pada terbaginya amphibi menjadi dua yakni amphibi brigade yang memihak kepada Haji Mahdi, dan amphibi sejati yang berpihak kepada Sibaway dan guru Ukit. Besarnya kepentingan di dalam tubuh amphibi, bisa menyebabkan amphibi berubah haluan dalam pelaksanaan fungsinya. Mereka tidak lagi bekerja untuk memberikan keamanan dan perlindungan terhadap masyarakat, namun bisa jadi mereka menjadi kelompok yang bergaris keras, ekspansionis bahkan korup. Hal tersebut terbukti dengan operasi-operasi kerja amphibi yang banyak merugikan masyarakat Lombok. 
Berdasarkan penjelasan di atas, terkait bahaya privatisasi sektor keamanan di Bali dan Lombok maka penulis melihat kajian ini secara teoritis sangat bagus untuk dibaca dan dipelajari. Banyak pengetahuan yang kita dapatkan dari kajian tersebut, apalagi jika dihubungkan dengan politik keamanan dan pembangunan. Namun, apabila kajian privatisasi sektor keamanan di Bali dan Lombok dkontekskan dengan tatanan praktisnya, penulis bersumsi bahwa perlu adanya pengkajian ulang mengenai tugas dan fungsi penjaga keamanan swasta seperti pecalang dan pam swakarsa (Bujak & amphibi). Hal ini dikarenakan, kehadiran mereka sebagai penjaga keamanan pengganti polisi, seringkali dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menggunakan kekerasan tehadap masyarakat minoritas, bahkan kelompok milisi tersebut bisa berubah menjadi kelompok penyerang dan pembunuh seperti  kasus di Lombok pada bulan Mei 2002.
Meskipun kelompok milisi di Bali dan Lombok memerlukan pengkajian ulang dalam hal tugas dan fungsinya, namun apabila dilihat dari sisi positifnya kehadiran mereka sangat membantu keamanan masyarakat lokal yang jarang tersentuh ranah kepolisian. Selain itu, respon pemerintah propinsi pun sangat baik dengan kehadiran penjaga keamanan lokal tersebut. Di Lombok misalnya, pam swakarsa sudah resmi dikategorikan sebagai Linmas (perlindungan masyarakat) dibawah UU Keamanan Nasional tahun 1982. Penulis optimis, apabila tugas dan fungsi milisi dijalankan dengan baik dan benar-benar berkomitmen untuk menjaga dan melindungi keamanan masyarakat lokal, tanpa diikuti oleh perilaku premanisme dan anarkisme, maka masyarakat akan merasa terlindungi. Namun, apabila para milisi tersebut tetap berperilaku premanisme dan anarkisme bahkan sampai memicu ketegangan antar daerah, maka lebih baik mereka dibubarkan.
Rekomendasi untuk pemerintah Indonesia, terkait privatisasi sektor keamanan di Indonesia yakni meningkatkan rekrutmen dan pelatihan polisi berbasis masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada kelompok sipil, dan bekerja sama dengan polisi untuk mempelajari masalah tumpang tindih yurisdiksi desa, kabupaten, dan kota mengenai organisasi keamanan dan mengembangkan lebih jelas jalur kewenangannya.

Referensi:
ICG Asia Report.  The Perils Of Private Security In Indonesia: Guards And Militias
On Bali And Lombok; Jakarta/Brussels, 7 November 2003
Dualisme Peran Anggota Dewan Sebagai Aktor Intermediary
(Studi Terhadap Fungsi Politik Fraksi)
Oleh: Restu Rahmawati
==================================================
Pendahuluan
Seperti diketahui, anggota dewan baik ditingkat pusat dan daerah berstatus sebagai wakil rakyat karena dipilih melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu). Hanya mereka yang mendapatkan suara terbanyaklah yang berhak menduduki kursi di parlemen. Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa dibentuknya lembaga DPR RI/DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota tidak lain dalam rangka mewakili kepentingan rakyat. Dengan kata lain, mereka yang duduk didalamnya berperan sebagai aktor intermediary, atau jembatan penghubung antara kepentingan rakyat dan pemerintah.
Namun, yang menjadi permasalahan adalah ketika peran dan wewenang fraksi justru mengaburkan eksistensi anggota dewan sebagai wakil rakyat. Fraksi tidak hanya sekedar sebagai wadah berhimpun para anggota partai politik yang duduk sebagai wakil rakyat di parlemen. Tetapi lebih dari itu, fraksi juga dapat mengarahkan setiap pilihan sikap dan keputusan yang diambil dalam proses politik pemerintahan secara keseluruhan. Alhasil, setelah duduk dalam parlemen, tanggung jawab utama anggota dewan lebih dominan kepada partai pengusung dibanding kepada konstituen. Mereka tunduk dan patuh sesuai aba-aba fraksi masing-masing.
Penulis memilih fraksi sebagai objek kajian karena hingga saat ini belum ada garis jelas terkait peran dan wewenang fraksi itu sendiri. Terlebih fraksi bukanlah alat kelengkapan DPR, seperti halnya badan anggaran (Banggar), badan kehormatan (BK), badan musyawarah (Bamus), badan legislasi (Baleg), dan juga komisi. Isi makalah akan coba mengupas peran dan wewenang fraksi di DPR/DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Tidak hanya itu, penulis juga akan menelaah kembali urgensi keberadaannya dalam tubuh parlemen, apakah masih dibutuhkan atau perlu dihapus. Karena hingga saat ini banyak terjadi pro kontra dikalangan masyarakat, khususnya dikalangan elit politik terhadap wacana penghapusan ini.

Konteks Kajian
Parlemen merupakan pengejawantahan dari prinsip kedaulatan rakyat dalam bentuk perwakilan. Jika keterwakilannya sekarang masih buruk, maka dapat dikatakan bahwa kedaulatan rakyat belum sepenuhnya terwujud. Tidak dapat dibantah jika anggota dewan sebagai aktor politik juga menjadi anggota partai politik yang dikelompokkan dalam fraksi-fraksi di dewan perwakilan. Kondisi ini berlaku tidak hanya ditingkat pusat namun juga daerah.
Fraksi sendiri diartikan sebagai pengelompokan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum. Berdasarkan Tatib DPR, pembentukan fraksi bertujuan mengoptimalkan dan membuat efektif pelaksanaan tugas, wewenang, dan hak DPR. Dalam menjalankan fungsinya, keadaan ini sebenarnya memunculkan konflik peran dalam diri anggota dewan, yakni apakah ia bertindak sebagai wakil rakyat atau sebaliknya wakil partai. Tidak jelas kapan ia mewakili kepentingan rakyat dan kapan ia mewakili kepentingan partai politik.
Keberadaan fraksi justru memupus harapan anggota dewan sebagai wakil rakyat. Anggota dewan seringkali tidak bisa menentang keputusan fraksi yang menaunginya. Bukan tanpa alasan, ancaman recall selalu membayangi manakala tindakan yang dilakukan tanpa seizin partai.  Hal ini tentu saja rancu, mengingat pada dasarnya anggota dewan dipilih langsung oleh rakyat dalam mekanisme pemilu. Sehingga seharusnya mereka lebih loyal terhadap konstituennya, mengingat legitimasi diberikan oleh mereka. Dalam hal ini harus diakui kecerdikan pemerintah dalam melobi partai-partai politik untuk menguatkan daya tawarnya terhadap parlemen.
Lemahnya bergaining position anggota dewan terhadap fraksi berujung pada dominannya kepentingan partai dalam parlemen. Suksesnya lobi dan manuver dari pemerintah terhadap partai politik akan memuluskan rencana kebijakan publik yang digodok di parlemen. Terlebih jika partai penguasa sangat dominan dalam parlemen. Keputusan-keputusan DPR akhirnya merupakan hasil dari kompromi politik antara eksekutif dan legislatif. Hal inilah kemudian yang membuat fraksi tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Atmosfer seperti inilah yang kemudian mengkonstruksi pola pikir anggota dewan untuk cenderung menjadi seorang pragmatis dimana banyak melahirkan kebijakan yang tidak populis. Kebijakan yang dimaksud lebih terkesan sebagai kebijakan yang sangat individualistis dan golongan. Idealnya peran sebagai wakil rakyat dalam tatanan praksis sudah hampir dipastikan menjadi sesuatu yang sangat impossible sulit diwujudkan. Yang terjadi umumnya para anggota dewan menyesuaikan perilaku politiknya dengan norma-norma yang berlaku di dalam parlemen. DPR hanya menjadi solidaritas dan oligarki antar partai politik. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa banyak bangku kosong saat rapat dengan agenda kepentingan rakyat. Sebaliknya, gedung DPR selalu penuh sesak manakala agenda rapat berisi rencana kenaikan gaji, tunjangan, atau “plesir” ke luar negeri dengan mengatasnamakan studi banding.
Apabila hal ini dibenturkan dengan peran anggota dewan sebagai seorang aktor intermediary maka akan ditemui sebuah ketimpangan. Anggota dewan yang seharusnya menjadi jembatan penghubung kepentingan rakyat justru malah menjadi rubber stamp alias stempel karet pemerintah. Alhasil, banyak kebijakan yang kemudian lahir jauh dari kata berpihak kepada rakyat. Eksekutif dan legislatif cenderung berkolaborasi dalam menindas rakyat. Fungsi check dan balances hanyalah formalitas belaka. Keberadaan legislatif bukanlah menjadi penyeimbang eksekutif, melainkan hanya penguat legitimasi kebijakan eksekutif. Akibatnya, hubungan emosional yang terjalin ketika proses pemilu digelar seolah terputus ketika anggota dewan tersebut duduk di kursi legislatif. Rakyat tidak lagi menjadi tujuan mereka, amanat yang mereka pegang untuk mensejahterakan rakyat hanya merupakan amanat yang tidak berarti.

Rumusan Masalah
Anggota dewan tidak mampu menjalankan secara penuh tugas, peran, dan wewenangnya sebagai utusan rakyat akibat pengaruh politik fraksi yang notabene menjadi kendaraan politik dirinya saat mencalonkan diri dalam gelaran Pemilu. Fraksi berperan dalam mengarahkan sikap dan pandangan-pandangan yang disampaikan oleh anggota, terutama pada saat proses pengambilan keputusan di tingkat alat kelengkapan DPR. Keadaan ini menunjukkan bahwa pola perwakilan DPR, baik ditingkat pusat dan daerah sangat kental akan kepentingan partai politik.
Posisi fraksi yang strategis inilah kemudian yang menggelitik penulis untuk memaparkannya secara lebih jauh dan mendalam terkait sejauh mana peran dan wewenang fraksi di dalam tubuh parlemen ? dan Bagaimana urgensitas keberadaannya dalam sebuah sistem perwakilan? Apakah masih cukup relevan atau sudah seharusnya fraksi dihapus ?

I.    Konstruksi Teori
A.  Teori Perwakilan.
Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki peranan yang sangat penting yakni sebagai pemegang kedaulatan. Tak ayal muncul sebuah istilah yang cukup terkenal yakni dari, oleh, dan untuk rakyat. Seluruh kebijakan negara yang diambil harus berhulu dan bermuara kepada rakyat.  Manakala kata kedaulatan itu diartikan sebagai kekuasaan yang tertinggi yang menentukan segala kekuasaan yang ada, atau sering diucapkan orang rakyatlah sumber kekuasaan itu, maka pertanyaan yang muncul adalah kapan kekuasaan yang tertinggi itu diejawantahkan dan bagaimana caranya rakyat melaksanakan kekuasaan tersebut.
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dengan menerapkan apa yang dinamakan konsep perwakilan. Hal ini berlaku bukan hanya pada masyarakat yang secara kondisional modern, namun juga yang masih sangat sederhana. Akan tercipta dua pihak dari konsep perwakilan tersebut, yakni pihak yang memerintah dan yang diperintah. Jumlah yang memerintah jauh lebih kecil dari mereka yang diperintah. Umumnya yang berada dalam posisi pihak yang memerintah yakni mereka yang secara pendidikan jauh lebih tinggi, atau karena pekerjaan yang dimiliki jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan orang lain.
Dalam proses bernegara sekelompok kecil tersebut adalah wakil-wakil rakyat yang dalam perjalanannya menjadi lembaga perwakilan seperti yang dikenal seperti sekarang ini. Namun timbulnya lembaga perwakilan ini atau dengan sebutan yang bermacam-macam seperti “parlemen” Legislatif”, “Dewan Perwakilan Rakyat atau apapun sebutannya , ternyata lahirnya bukan  karena sistem demokrasi itu sendiri, melainkan karena kelicikan sistem feodal, seperti dikatakan oleg A.F Polllard dalam bukunya yang berjudul “ The Evolution of Parliament” yang menyatakan “Representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of the feodal system,”[1].
Di negara-negara barat sampai pada pertengahan abad ke 14, rakyat tidak lebih dari obyek penguasa yang absolut. Sejalan dengan perjuangan manusia untuk diakui sebagai manusia yang mempunyai hak, yang pada awalnya banyak dipengaruhi pemikiran John Locke, pembentukan suatu badan perwakilan semakin menjadi kenyataan. Pada awalnya penentuan siapa  yang akan duduk di lembaga perwakilan tersebut dilakukan dengan cara pengangkatan. Sejarah telah mencatat bahwa awalnya, House of Commons yang sering dianggap  sebagai parlemen pertama di dunia  (Inggris) anggotanya diangkat. Dengan semakin berhasilnya perjuangan untuk mendapatkan jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, maka pada akhirnya , rakyat tidak lagi dianggap sebagai obyek penguasa, tetapi sudah diakui sebagai subyek dalam proses bernegara. Pengakuan rakyat sebagi pemegang kedaulatan kemudian ditempatkan dalam konstitusi.
Walaupun diakui secara konstitusional bahwa rakyatlah yang berdaulat, tetapi patut pula disadari bahwa rakyat tidak mungkin melaksanakan sendiri kedaulatannya. Seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta bahwa kedaulatan rakyat adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar permusyawaratan. Ketidakmampuan rakyat melaksanakan  sendiri kedaulatannya tidak hanya karena jumlahnya yang relatif  banyak dan tersebar di wilayah yang relatif cukup luas, ,juga karena tingkat kehidupan yang semakin kompleks dimana melahirkan spesialisasi yang pada  gilirannya menuju profesionalisme. Dalam hal kenegaraan, rakyat akan menyerahkannya pada ahlinya.
Selanjutnya, dalam demokrasi perwakilan yang dijalankan melalui kelembagaan seperti halnya DPR/DPRD, senantiasa akan diwarnai tarik menarik antara aspirasi rakyat pemilih dengan mekanisme yang dibangun di tingkat politik perwakilan itu sendiri. Interaksi yang dibangun akan memberikan dampak pada dinamika pemerintahan secara keseluruhan, termasuk pada konteks reaksi perwakilan politik yang dihasilkan dalam menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi. Sistem demokrasi perwakilan yang dilaksanakan pada tataran kelembagaan tentunya akan berbeda di tiap negara. Dalam kerangka sistem politik, pelaksanaan fungsi partai politik sangat bergantung pada kinerja anggotanya yang duduk sebagai wakil rakyat di parlemen.
Hubungan antara wakil dan terwakil yang tercipta menjadi rujukan dalam melihat demokrasi perwakilan yang diterapkan. Ada dua teori yang menjelaskan hal ini yakni  teori mandat dan teori kebebasan. Dalam teori mandat, wakil dilihat sebagai pelaksana mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses politik. Wakil dianjurkan untuk selalu memberikan pandangan, bersikap dan bertindak sejalan dengan mandat dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan dalam teori kebebasan, wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan pandangannya tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat kepada pihak terwakili. Terwakil dianggap sudah memberikan kepercayaan kepadanya selaku wakil.[2]
Bersandar pada uraian tersebut, maka peranan fraksi dalam mendorong anggota parlemen, termasuk DPR/DPRD menciptakan hubungan perwakilan politik yang bersifat mandat.  Pola hubungan antara DPR/DPRD dan rakyat selalu berada dalam lingkaran aktualisasi, sebagaimana digariskan oleh masing-masing partai politik yang menjadi induk atas keberadaan fraksinya di DPR/DPRD. Kondisi ini menciptakan pola perwakilan politik menjadi bersifat partisan dimana partai politik dengan disiplin keanggotaan serta militansi yang kuat akan mendorong terbentuknya peranan fraksi yang sangat mengakar terhadap sikap atau perilaku para anggotanya yang duduk di parlemen.

B.   Fungsi Lembaga Perwakilan.
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan yang  pertama-tama mencerminkan kedaulatan rakyat, kegiatan bernegara, pertama-tama untuk mengatur kehidupan bersama. Karena itu kewenangan untuk menetapkan peraturan itu pertama-tama harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau legislatif.
Selanjutnya fungsi badan perwakilan atau parlemen dapat dibedakan secara yuridis dan akademis. Secara yuridis, di Indonesia dikenal tiga fungsi Dewan Perwakilan Rakyat yang secara eksplisit tercantum di dalam UUD 1945, yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran. Sementara fungsi lembaga perwakilan secara akademis, dapat terdiri dari beberapa fungsi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa fungsi DPR dapat mencakup empat fungsi, yaitu pengawasan, legislasi, representasi, dan anggaran. Menurut Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, lembaga perwakilan yang disebut parlemen umumnya mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu, fungsi perundang-undangan, fungsi pengawasan, dan sarana pendidikan politik. Menurut Miriam Budiardjo, fungsi badan legislatif yang paling penting ada dua, yaitu pertama, menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang; kedua, mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Arbi Sanit berpendapat bahwa fungsi badan perwakilan rakyat adalah perundang-undangan, keuangan, pengawasan, pemilihan pejabat, dan internasional. Sementara menurut A.S.S. Tambunan, fungsi DPR adalah pengawasan, sarana pendidikan politik, penyalur aspirasi masyarakat dan forum komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Selanjutnya terkait dengan hubungan antara wakil dengan yang diwakilinya, menurut Gilbert Abcarian[3] terdapat 4 (empat) tipe, yaitu sebagai wali (trustee yang dalam hal ini sang wakil bebas mengambil keputusan atau bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang diwakilinya); sebagai utusan (delegate, yaitu sang wakil harus senantiasa mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakilnya); sebagai politico (dalam hal ini kadang-kadang bertindak sebagai wali, dan ada kalanya juga bertindak sebagai utusan tergantung dari issue yang akan dibicarakan); dan sebagai partisan (dalam hal ini sang wakil bertindak sesuai kehendak atau program dari organisasi/partai sang wakil).  Sementara dari segi teori, terdapat beberapa teori, di antaranya Teori mandat (wakil merupakan mandataris rakyat); teori organ (negara/parlemen merupakan organ yang berdiri sendiri dengan peran dan fungsinya masing-masing); Teori Sosiologi (rakyat dan parlemen menyatu); dan Teori hukum obyektif (hubungan negara dan rakyat adalah hubungan solidaritas).

C.  Sistem Perwakilan.
Dalam rangka pelembagaan fungsi representasi itu, dikenal adanya tiga sistem perwakilan yang dipraktekkan di berbagai negara demokrasi, yaitu :
a. Sistem perwakilan politik (political representative);
b. Sistem perwakilan territorial (territorial representative);
c. Sistem perwakilan fungsional (functional representative)
Apabila seseorang duduk dalam lembaga perwakilan melalui pemilihan umum, maka perwakilannya disebut perwakilan politik (political representation). Apapun tugasnya dalam masyarakat, kalau yang bersngkutan menjadi anggota lembaga perwakilan melalui pemilihan umum tetap disebut perwakilan politik. Umumnya perwakilan semacam ini punya kelemahan karena yang terpilih biasanya adalah orang yang popular karena reputasi politiknya, tetapi belum tentu menguasai bidang-bidang teknis pemerintahan, perundang-undangan, ekonomi dan lain-linnya, sedangkan para ahli sulit terpilih  melalui perwakilan politik ini, apalagi  kalau pemilihan umumnya memakai sistem pemilihan distrik.
Di negara maju kelemahan ini kurang terasa, karena tingkat pengetahuan/pendidikan sudah begitu maju dan merata, itulah sebabnya  perwakilan politik merupakan  pilihan dari negara-negara maju, dan pemilihan umum tetap merupakan cara yang terbaik untuk menyusun keanggotaan parlemen dan membentuk pemerintah. Lain halnya pada negara-negara sedang berkembang, disamping  perwakilan politik   juga melalui pengangkatan orang-orang tertentu dalam lembaga perwakilan. Pengangkatan orang-orang tersebut di lembaga perwakilan biasanya didasarkan pada fungsi/jabatan atau keahlian orang tersebut dalam masyarakat dan mereka ini disebut golongan fungsional dan perwakilannya disebut perwakilan fungsional (functional representation).
Walaupun seorang anggota partai politik,  tetapi ia seorang ahli atau tokoh dan duduk dalam lembaga perwakilan berdasarkan pengangkatan, dia tetap disebut golongan fungsional dan perwakilannya disebut perwakilan fungsional. Tidak masuk dalam kategori ini, suatu parlemen dari suatu negara  yang dibentuk berdasarkan seluruhnya pengangkatan karena hasil   dari suatu perebutan kekuasaan dan penguasanya membentuk parlemen baru menurut penunjukan. Sedangkan apabila  di dalam perwakilan  fungsional (functional representation) menghasilkan wakil-wakil daerah, seperti anggota Dewan Perwakilan daerah (DPD) di Indonesia yang berasal dari tiap-tiap daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.

D. Fraksi
Fraksi (fraction atau disebut parliamentary party) adalah istilah yang digunakan untuk  mengacu pada perwakilan partai politik di dalam majelis legislatif, parlemen, dan juga berlaku di Dewan Kota (city council). Istilah fraksi awalnya digunakan di Jerman, melalui terminology Fraktion, lalu berkembang pula penggunaannya di Swiss (Fraction/Fraktion/Frazione), di Austria (disebut istilah Club) dan di Belanda (Fractie).[4] Negara-negara tersebut umumnya memiliki sistem multi partai dan disiplin partai yang kuat. Mereka mengorganisir parliamentary parties yaitu melalui wadah fraksi sebagai cara untuk memperoleh dukungan  keuangan dan personal yaitu bagi partai dan anggota palemen dalam bergabung di komisi-komisi parlemen (parliamentary committees). Dalam konteks disiplin partai, fraksi digunakan untuk mengontrol “vote” para anggotanya di parlemen. Di Indonesia, pengaturan masalah fraksi tertera dalam UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
II. Pembahasan
a.   Peranan Politik Fraksi
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas kerja parlemen, di antaranya masalah pengisian, integritas, dan mekanisme kerjanya.[5] Masalah pengisian muncul ketika banyak terjadi manipulasi dalam mekanisme pemilihan anggota Parlemen. Selanjutnya ketika pengisian bukan lagi menjadi masalah, terdapat permasalahan integritas dari para anggota Parlemen menjadi penghambat. Kemudian, muncul satu permasalahan lain ketika sebuah sistem yang mengatur mengenai mekanisme kerja Parlemen ternyata tidak mendukung efektivitas pelaksanaan fungsi Parlemen.
Para anggota DPR/DPRD diwajibkan untuk berhimpun dalam wadah fraksi. Ketentuan ini jelas mengindikasikan bahwa keberadaan mereka secara perseorangan sebagai wakil rakyat sangat tidak dimungkinkan. Sehingga, otomatis bahwa di setiap periode, proses pembentukan fraksi harus tetap dilakukan. Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR/DPRD, fraksi merupakan pengelompokkan anggota DPR/DPRD berdasarkan partai politik yang memperoleh kursi sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam keputusan Peraturan Tata Tertib.
Secara umum, tugas fraksi antara lain yaitu menentukan dan mengatur segala sesuatu yang menyangkut urusan fraksi masing-masing; meningkatkan kemampuan, disiplin,  daya guna dan hasil guna para anggota dalam melaksanakan tugas yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR/DPRD; menyampaikan pemandangan umum dan pendapat akhir pada setiap pembahasan rancangan perundang-undangan; serta menerima dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Posisi fraksi yang strategis tidak saja terkait dengan proses pembahasan agenda DPR/DPRD tentang rencana kebijakan nasional semisal dalam pembahasan rancangan undang-undang. Tetapi lebih dari itu, posisi fraksi juga berperan terhadap proses penggunaan sarana pelaksanaan hak-hak DPR/DPRD baik secara kelembagaan maupun setiap individu anggotanya, dalam setiap menghadapi persoalan atau isu publik. Dengan sistem  pembahasan agenda DPR/DPRD yang bertumpu pada sikap fraksi, maka sukar diabaikan adanya pertimbangan atas desain komposisi dan kekuatan anggota masing-masing fraksi, baik secara aspek kuantitas maupun aspek kualitas para kader partai yang mengisinya.
Fraksi merupakan representasi dari partai politik atau beberapa partai politik, yang dalam peraturan Tata Tertib tidak termasuk sebagai alat kelengkapan DPR/DPRD. Namun demikian, keputusan politik dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang DPR/DPRD, justru tidak terlepas secara politis dari peranan fraksi. Dalam tataran penggunaan hak bertanya dan hak menyampaikan pendapat, fraksi senantiasa memberikan sikap politik dengan azas musyawarah mufakat.
Kebijakan dimaksud dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan induk organisasi partai. Nantinya, terdapat semacam garis kebijakan tertentu dari pihak DPP atau DPD /DPW sebagai induk organisasi partai politik melalui fraksi yang harus dipatuhi para anggotanya di DPR/DPRD dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai wakil rakyat. Hal tersebut diatur dalam AD/ART partai yang memang mengharuskan adanya ketentuan semacam itu.
Peranan fraksi secara politis tetap diperhitungkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kewenangan DPR/DPRD untuk mengusulkan pemberhentian kepala pemerintahan, adalah merupakan puncak dari peranan politik fraksi. Tidak saja terkait usulan pemberhentian dan pengangkatan kepala pemerintahan, tetapi fraksi juga berperan terhadap proses pengusulan nama calon Pimpinan DPR/DPRD, dan pimpinan alat kelengkapan DPR/DPRD lainnya.  Fraksi dengan jumlah terbesarlah yang umumnya mendominasi posisi pimpinan di setiap pos yang dinilai penting (baca : basah).

b.       Urgensitas Peran Fraksi dan Mekanisme Recall
 
Pembentukan fraksi tidak lain bertujuan mengoptimalkan dan membuat efektif pelaksanaan tugas, wewenang, dan hak DPR/DPRD, namun dalam kenyataaannya fraksi justru menjadikan anggota dewan mandul karena tidak mampu memainkan perannya secara maksimal. Mereka senantiasa dibayang-bayangi ancaman pergantian antar waktu (PAW) atau akrab dikenal dengan istilah recall[6] apabila melakukan tindakan diluar garis yang telah ditentukan fraksi tadi. Alhasil, para anggota dewan lebih memilih bermain “aman” ketimbang melawan partai yang menjadi kendaraannya saat Pemilu tersebut. Hal ini semata-mata dilakukan guna menjaga keamanan karir politiknya.
Kondisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Daniel Dhakidae[7], Kepala Litbang Harian Nasional Kompas. Menurutnya, partai-partai menjelma menjadi birokrasi dalam dirinya dan untuk dirinya sendiri. Sedangkan pejabat partai di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat. Karena parlemen terdiri dari fraksi-fraksi dan fraksi-fraksi adalah partai itu sendiri, maka birokrasi partai masuk ke birokrasi parlemen. Pada saat yang bersamaan parlemen menjadi dirinya sendiri pula. Dengan demikian, parlemen terputus hubungannya dengan rakyat. Hal ini jelas bertolak belakang dengan tugas anggota dewan sebagai wakil rakyat yang harus bersungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat[8].
Terkait persoalan ini, banyak pihak yang pro dan kontra terhadap wacana penghapusan fraksi dari tubuh parlemen. Keberadaan fraksi dinilai tetap penting karena merupakan perpanjangan tangan dari partai politik di parlemen. Sehingga jika fraksi dihapus, maka peran partai politik di dalam tubuh parlemen itu sendiri akan tumpul. Adapun pihak yang pro dengan wacana penghapusan ini karena melihat dominannya peran partai politik dalam perumusan berbagai kebijakan publik yang diambil. Hal ini menjadi berbahaya, manakala kebijakan publik tersebut tidak populis dan sangat jauh dari keinginan masyarakat. Karena bagaimanapun, anggota dewan memiliki peran sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat.
Hal tidak jauh berbeda juga muncul ketika wacana penghapusan mekanisme recall dimunculkan ke publik. Sedikitnya ada empat alasan yang acap dikemukakan pihak yang kontra atas hak recall[9]. Keberatan pertama, hak adalah salah satu warisan rezim Orde Baru yang paling buruk. Hak recall telah digunakan partai untuk memecat anggota yang vokal terhadap kebijakan pemerintah ataupun perilaku pejabat pemerintah. Hak recall saat itu sangat efektif membungkam lembaga legislatif. Partai sangat berkuasa menentukan siapa yang masih boleh menjadi anggota lembaga legislatif. Akibatnya, muncul seleksi alami dan tindakan menyensor diri sendiri dari para anggota legislatif. Jika ingin aman, mereka tidak boleh vokal dan kritis. Publik luas akan dirugikan karena memperoleh lembaga legislatif yang impoten dan tak dapat menjalankan fungsi pengawasannya dengan baik.
Keberatan kedua, hak recall memang dapat memperkuat partai politik dalam mengendalikan anggotanya. Tentunya hal ini membuat konservatisme partai berkuasa. Memang anggota yang tidak disiplin dapat diawasi dan dikontrol oleh partai. Namun, anggota yang vokal dan menolak konservatisme politik juga ada dalam posisi yang tak aman, karena hadirnya lembaga recall.
Keberatan ketiga, demokrasi internal dalam setiap partai besar dianggap belum terbentuk. Partai belum modern, belum menjadi institusi yang dapat dikontrol oleh anggotanya.  Hak recall justru akan memperkokoh kekuasaan elite partai itu untuk mengatur dan mengkooptasi para anggota DPR. Para anggota yang potensial berjuang untuk kepentingan publik dapat didistorsikan hanya memperjuangkan kepentingan elite partai itu. Keberatan keempat, hak recall akan kembali mensubordinasikan lembaga legislatif ke dalam dominasi lembaga eksekutif.

Sedangkan, argumen yang tidak kalah kuatnya juga dilontarkan oleh mereka yang pro terhadap mekanisme recall tersebut. Dengan hak recall, partai dapat mengontrol anggotanya yang tidak menjalankan tugas legislatif secara baik. Jika anggota tersebut tidak disiplin atau terlibat KKN, partai dengan mudah memecatnya, dan menggantinya dengan anggota yang lebih baik. Atau, jika sang anggota membuat partai baru, partai asal anggota dapat pula memecatnya. Maka, hak recall menjadi insentif negatif bagi anggota partai untuk tidak memecah belah partainya sendiri.
Melihat perdebatan panjang antara kedua hal tersebut, maka jika dikontekskan dengan peran anggota DPR/DPRD sebagai aktor intermediary maka sudah selayaknya anggota dewan kembali pada relnya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Fungsinya sebagai lembaga legislasi, pengawasan, perwakilan harus tetap bersandar pada cita-cita mencapai kesejahteraan rakyat. Konsepsi perwakilan, tidak hanya digembar-gemborkan dalam sebuah gelaran pemilihan umum, namun harus benar-benar diimplementasikan dalam bentuk perjuangan politik di parlemen.  Anggota DPR/DPRD harus mampu menjadi penghubung kepentingan antara masyarakat dan juga pemerintah.
Kondisi saat ini dimana kecenderungan anggota dewan lebih banyak memperjuangkan kepentingan partai politik mengindikasikan mereka belum memahami betul apa yang menjadi peran, fungsi, dan wewenang yang semestinya dilakukan oleh seorang anggota dewan. Predikat sebagai aktor intermediary  dimana ia harus menghasilkan sebuah kebijakan publik yang berefek pada peningkatan kapasitas dan kualitas hidup rakyat belum mampu dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya selama ini kebijakan yang dihasilkan lebih banyak merupakan hasil kompromi politik yang meminggirkan rakyat sebagai pihak yang terdampak.
Ambil contoh dalam kasus impor beras tahun 2006. Karena posisi eksekutif dikuasai oleh SBY (Demokrat) dan JK (Golkar), maka dua fraksi tersebut menjadi garda terdepan yang menyetujui kebijakan tersebut. Padahal, kebijakan ini dianggap merugikan petani karena mengakibatkan harga pasaran beras menjadi jatuh. Keinginan untuk menggunakan hak interpelasi dan angket pun gagal ditempuh akibat kuatnya dominasi partai pendukung pemerintah yang duduk di parlemen. 
Hal ini dikarenakan, partai politik di parlemen cenderung tidak mewakili sub sistem kebijakan, gagasan dari berbagai aktor di dalam sub sistem dapat dipengaruhi oleh partai dimana mereka berafiliasi. Partai politik cenderung mempengaruhi kebijakan publik secara secara tidak langsung, terutama melalui peranannya di dalam menempatkan pejabat, atau bahan kebijakan. Malahan, tidak biasanya anggota partai di dalam pemerintahan mengabaikan platform pejabat partai sambil mendesakkan kebijakan.
 
 
Penutup
DPR/DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan  rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk  memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik  yang  diwakilinya.
Menurut penulis keberadaan fraksi sudah semestinya ditinjau ulang, karena apabila tidak, maka fenomena anggota dewan sebagai rubber stamp atau tukang stempel pemerintah akan selalu ada.  Anggota DPR akan cenderung membela kepentingan partai atau pemerintah daripada membela kepentingan rakyat. Peranan fraksi sejauh mungkin ditempatkan sebagai fasilitator kinerja setiap anggota DPR/DPRD yang berhimpun di dalamnya dan bukan mengekang kebebasan para anggotanya sebagai wakil rakyat. Begitupula dengan mekanisme recall yang menurut penulis  tidak boleh dilakukan semena-mena karena hanya membuat mandul kinerja dewan.
Perlu dipikirkan jalan tengah untuk menengahi perdebatan terkait keberadaan fraksi dan mekanisme recall tersebut. Harus ada garis dan prosedur yang ketat sehingga keduanya tidak menjadi sesuatu yang justru menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia. Proporsi peran partai politik dalam tubuh parlemen perlu juga dirumuskan ulang, sehingga ada sinergitas peran yang dapat dimainkan seorang anggota dewan, baik sebagai anggota partai politik dan juga sebagai wakil masyarakat. Dengan demikian, ungkapan “penyambung lidah rakyat” dapat benar-benar diwujudkan oleh mereka.



Referensi
Anshari, Tunggul dkk, Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, 2009, Malang, Universitas Brawijaya
Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1985
Daniel Dhakidae, Partai-partai Politik Indonesia, 2004
Saragih, R. Bintan, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, 1987, Jakarta, Gaya Media
Soefihara, endin AJ. Merebut Nurani Rakyat, 2005, Jakarta, PT Mizan Publika
Solthan, Azikin, Format Pemerintahan Daerah Dalam Penyusunan Kebijakan APBD Pasca Pilkada Langsung, 2010, Yogyakarta, Ombak

Internet
“Fraction (Politics)” dalam http://www.nationmaster.com
UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 213 ayat (2) huruf e dan h

Tata tertib DPR RI 2010, Pasal 1

Kontroversi Hak Recall oleh Denny JA dalam Http://tempo-interaktif.com

Jurnal
Agung Laksono dalam Jurnal Majelis 2009 “Fungsi DPR-RI Pasca Perubahan UUD 1945



[1] Saragih, R. Bintan, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, 1987, Jakarta, Gaya Media Pratama, hlm 79
[2] Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Penerbit CV Rajawali, Jakarta, 1985, hal.37
[3] Anshari, Tunggul dkk, Konstruksi Perwakilan Daerah Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, 2009, Malang, Universitas Brawijaya hlm 82
[4] “Fraction (Politics)” dalam http://www.nationmaster.com
[5] Agung Laksono dalam Jurnal Majelis 2009 “Fungsi DPR-RI Pasca Perubahan UUD 1945”
[6] UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Pasal 213 ayat (2) huruf e dan h
[7] Daniel Dhakidae, Partai-partai Politik Indonesia, 2004 halaman 19
[8] Tata tertib DPR RI 2010, Pasal 1
[9] Kontroversi Hak Recall oleh Denny JA dalam Http://tempo-interaktif.com